Kalau kita baca buku lama tentang Intisari Kesusastraan Indonesia karya F.M. Mangunsubrata, kita akan temukan tentang pembagian puisi menjadi 3 (tiga) golongan, yakni Puisi Lama (Klasik), Puisi Baru (Modern), dan Puisi Tebaru (Revolusioner). Perbedaan 3 (tiga) golongan puisi tersebut berdasarkan sifat masing-masing menunjukkan bahwa :
1. Pusi Lama (Klasik) bersifat statis (terikat aturan dan syarat bentuk), kolektif, mementingkan bentuk (kurang mementingkan isi), Melayu asli (terpengaruh kesusastraan Hindu, Persia atau Islam).
2.Puisi Baru (Modern) bersifat dinamis (leluasa dalam bentuk), individualistis, mementingkan isi (kurang mengindahkan bentuk), sangat terpengaruh oleh puisi Barat
3. Puisi Terbaru bersifat revolusioner, bebas sama sekali dalam bentuk, membuang hampir segala aturan yang mengikat, yang dipentingkan hanya isinya.Tokoh utama Puisi Terbaru adalah Chairil Anwar (UPP PRAPANCHA, JOGJAKARTA : 1956)
Marilah kita bersama-sama belajar dari judul tulisan ini di atas, yakni :
Di Tanah Betawi Jokowi dan Basuki Cahaya kampiun,
rindukan Si Dul ketemu Atun.
Sedang Adriana berupaya bermain kata, kata dihimpun,
ciptakan puiSi jaDul bernama Pantun
Berdasar judul tersebut, tentu saja kita akan mengingat kembali salah satu Puisi Lama kita yang terkenal bernama Pantun (selain Pantun, barangkali kita sudah mengenal Taliban, Syair, maupun Gurindam). Ada juga Puisi Lama kita yang kurang terkenal seperti Masnawi,, Rubai, Kithah, Cazal, dan Nazam.
Pantun merupakan salah satu bentuk/jenis puisi
lama (klasik) atau jadul (jaman dulu) Indonesia, yang terkenal dan dikenal merupakan akar budaya kita. Pantun yang umumnya
tiap larik/bait terdiri dari 4 (empat) baris. Pantun yang lazim (1 larik 4 baris) seperti buah karya Adriana bersajak/berirama a-b-a-b. Baris pertama dan keduanya
merupakan sampiran atau pembuka, sedangkan baris ketiga
dan keempatnya merupakan isi atau pesan yang ingin disampaikan. Isi
atau pesan pantun dapat berupa nasehat, atau ajakan menuju kebaikan,
atau sekedar bermotif hiburan. Dalam perkembangannya, keberadaan pantun
masih tetap ada (di Jawa dengan istilah "parikan", di Jawa Timur
terungkap dalam pertunjukan "ludruk", sedangkan di Tanah Melayu atau
Sumatra dan sekitarnya masih terdengar nyanyian-nyanyian berpantun).
Budaya berbalas pantun masih tetap ada dalam acara pernikahan maupun
kegiatan suatu organisasi atau institusi. Para pemantun pendahulu kita
pun telah mengajarkan kepada kita tentang nilai-nilai moral dan kebaikan
kepada kita. Bahkan pantun berdasarkan isinya telah dibagi-bagi menjadi pantun bersuka-cita, pantun berduka-cita, pantun nasib (dagang), pantun berkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun berceraian, pantun beriba hati, pantun jenaka, pantun nasehat, pantun adat, maupun pantun nasehat.
Peluncuran buku "Terasi rasa duren" Kumpulan Pantun Nakal
Adriana (Pengantar : Sugihastuti) dalam acara Bincang Bincang Sastra
Edisi Ke-84 Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta, Sabtu 29
September 2012 malam di Taman Budaya Yogyakarta barangkali dapat menjadi
obat rindu kita pada keberadaan pantun. Adriana--ibu rumah tangga 3
(tiga) anak kelahiran Jakarta yang pernah tinggal lama di Yogya--
mengkategorikan pantunnya sebagai Kumpulan Pantun Nakal tidak sepenuhnya
benar. Beberapa pantunnya yang notabene tidak layak dibaca bagi yang
belum dewasa memang "ya", tetapi "nakal" dalam arti kritikan juga "ya".
Ada beberapa pantunnya yang berupa sentilan (kritikan), ajakan kebaikan
(moralitas), ataupun potret realitas yang terjadi di masyarakat
Indonesia. Beberapa pantunnya berupa kritikan terhadap keadaan, seperti
berikut ini :
64
Ada talas ada duku
Diberikan kepada bapak kaum
Jangan lihat agama apa suku
Kalau salah harus dihukum
(
di halaman 32)
66
Beli kain kain yang bagus
Kalau belang jangan dibeli
Siapa dalang di belakang Gayus
Hingga Gayus bisa pergi ke Bali
(
di halaman 33)
67
Beli celana di negeri Cina
Jangan lupa beli parfum
Dari mana aliran dana
dari markus ke mafia hukum
(
di halaman 34)
68
Naik kereta datang ke Bekasi
Malas lari bisa ditarik
Banyak berita tentang polisi
Mabes Polri merasa terusik
(
di halaman 34)
Ada beberapa catatan tentang buku "Terasi rasa duren" setebal xv+97 yang memuat 193 buah pantun
Adriana ini. Barangkali kalau ada cetakan revisi, tanpa menambah materi yang ada, perlu revisi terhadap kata-kata yang dipaksakan untuk "pas" demi mengejar syarat persajakan atau irama a-b-a-b. Contoh salah satu pantun yang saya kutip sesuai aslinya :
41
Dari pasar beli pecel
Lihat katak di pinggir empang
Hati siapa yang tidak
kesal (
kata "kesal" dibaca dengan dialek Jakarta menjadi "kesel"?)
Kepala botak minta dikepang
(
di halaman 21)
Dari pantun tersebut, tanpa mengubah muatan maknanya, dapat disempurnakan menjadi :
Dari pasar beli pecel
Lihat katak di pinggir empang
Hati siapa yang tidak
anyel
Kepala botak minta dikepang
Pada pantun-26, barangkali pengepasan bunyi akhir dapat kita maklumi (karena untuk kepentingan diksi), karena ia sadar sepenuhnya mengambil kata-kata ragam keseharian, bukan kata-kata leksikal, sebagai kekuatan pantunnya yang komunikatif dan dialektis.
Buah mentimun buah cerme
Nyeberang bukit ongkosnya cepek
Mari berpantun rame-rame
Nyante dikit ngilangin capek
(
di halaman 13)
Yang paling menarik dari buku ini, menurut Sugihastuti dalam pengantarnya, adalah ketajaman pemantun melihat maalah-masalah sosial dan politik. Tema-tema korupsi banyak menghiasi kumpulan pantun ini, misalnya dalam pantun-29 dilantunkan sebagai berikut :
Jalan Braga ada di Bandung
Ke Ciampelas bubut besi
Bagaimana harga sembako tidak melambung
Kalau pejabatnya pada korupsi
(
di halaman 15)
Mudah-mudahan generasi penerus kita masih ingat, atau bahkan melestarikan dalam arti memperkembangkan keberadaan pantun kita, sekaligus mencoba mengkritisi realitas diri atau bangsa kita, yang sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi bersama KPK, Kepolisian maupun Kejaksaan.
Gunungkidul, 9 Oktober 2012.