Kamis, 02 Agustus 2012

MELIHAT YOGYA DARI 2 (DUA) PUISI GENERASI YANG BERBEDA

Yogya (karta) bagi seorang penulis, termasuk penyair, sampai saat ini masih menjadi salah satu kota sumber inspirasi yang tak pernah kering untuk diakrabi atau digauli. Di sana banyak cerita masa lalu maupun kekinian yang dapat menjadi impian dan harapan masa depan. Kenangan atau persepsi orang terhadap Yogya tentu tidak selalu sama antar  generasi. Namun pada hakekatnya semangat dan idealisme kota Yogya tetap tercermin dalam karya-karya monumental mereka. Termasuk karya monumental para penyair yang berdomisili di kota ini layak kita apresiasi untuk memperkaya khazanah sastra (puisi) Indonesia. Di tahun 2012 ini ada 2 (dua) orang penyair, yang masing-masing berasal dari generasi berbeda, mempersepsi tentang Yogya, yakni Indrian Koto dan Iman Budhi Santosa. Pilihan atas keduanya bukan datang tiba-tiba, atas dasar suka atau tidak suka, atas dasar rekan kedaerahan, rekan komunitas, atau atas dasar subyektifitas semata. Tetapi lebih pada karya puisi mereka yang monumental, karena Indrian Koto dengan “Yogyakarta : Kelahiran Kedua” dan Iman Budhi Santosa dengan “DI PANGKUAN YOGYA” telah memenangkan Lomba Penulisan Puisi Jogja 2012 (Juara I dan II) yang diselenggarakan oleh Ernawati Literary Foundation, bekerjasama dengan Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta, Mari Membaca Puisi Indonesia (MMPI), serta Taman Budaya Yogyakarta. Lebih-lebih setelah penulis membaca karya mereka, ada perasaan atau kesan ikut larut dalam suasana Yogya, yang kita sadari atau tidak Yogya sudah tidak dulu lagi, meski diidealkan atau dirindukan oleh penyairnya sebagai kota yang sejuk dan damai, tanpa permusuhan. Kedua penyair tersebut memandang Yogya sebagai tempat lahir kembali, meskipun keduanya bukan berasal (asli kelahiran) kota itu. Indrian Koto lahir 10 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat; sedangkan Iman Budhi Santosa lahir 28 Maret 1948 di Magetan, Jawa Timur.
Berikut ini penulis salin puisi mereka secara lengkap agar kita dapat menikmati dan mengapresiasi bersama secara utuh.

Yogyakarta: Kelahiran Kedua

I
di kota ini, aku merasa kembali dilahirkan

begitulah mungkin kita bertemu
aku orang asing mencari persinggahan
kau memberi tempat yang nyaman

kumasuki lorongmu seperti remaja yang jatuh cinta
masa lalu ditorehkan dalam grafiti
tertulis di tembok-tembok kota, di makam-makam tua

aku mendapati gempa yang singkat dan liar
seperti merapi, bibirku gemetar
aku melewati tenda pengungsian, jalan retak,
rumah ambruk dengan pikiran runtuh

setelahnya, aku merisaukan hari depan
seperti dikurung abu dan gempa subuh
ia datang dengan banyak rencana
membangun tembok, menanam gedung, memanen warung cepat saji

dan menyepakati masa depan dalam siasat ganjil
seperti kekasih aku pun enggan melepasmu
aku merindukan nyala lampu, jalan sepi dan daun gugur di kota baru
dan code seperti perawan yang sedang tumbuh ketika subuh

II
dari apa sebuah kota tegak berdiri?
jalan-jalan sempit
kendaraan penuh dan saling menjepit

di sini aku nyaris tak mengenal kami lagi
politik menjadi begitu nyaring dan lantang
lampu merah terus ditancapkan
sepeda seperti kenangan yang terus dihidupkan

dari apa sebuah kota diciptakan?
orang-orang berbondong datang
aku mendengar makian di jalan-jalan
traffic light tak menyala, awas ada galian,
diskon murah, warung makan, demonstrasi, aturan-aturan basi
kekuasaan seperti terbuat dari pijar lampu dan gedung baru
masa depan seperti lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh

dari apa sebuah kota dibangun?
rumah susun, pinggir kali, kecemasan para penganggur
kota dikepung minimarket 24 jam
kedai malam impor, kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu

di kota ini aku merasa kembali dilahirkan
berebut tempat dengan kecemasan
politik seperti orang tua nyinyir dalam kerangkeng masa lalu

2012

DI PANGKUAN YOGYA

Di pangkuan Yogya aku lahir kembali
bersama ribuan anak
belajar menggeliat merangkak
berdiri, berlari, dan menggambar
memulai pintar dari sunyi kamar
berbekal kata kalimat sakti
orang-orang bijak penjuru bumi

Di pangkuan Yogya, tinggi rendah menyatu
hitam putih enggan berseteru
setiap kaki memilih jalan sendiri
lidah pun susah berucap setengah hati
silang sengketa tuntas sebelum menggoda
kepalan tangan, ketika mata telinga
menangkap semua yang diterjemahkan

Memang, hanya di sini senyum mengukir puisi
taman merajut rumput, keraton mengajak pohon
tanah merengkuh air, musim memberi angin
hulu mencatat hilir, sejarah merawat mungkin
batu bukan sandungan, duri bukan ancaman
cacat cela dihitung sendiri
keris pedang sedia disarungkan kembali

Saksikan juga bagaimana kerdip bintang
selalu menyapa dari setiap biji mata
jam ikut mati menjaga rasa aman
utuh dalam perjamuan, jauh dari tergesa
tak ada terlambat meraih saudara
tak ada jauh tatkala jarak engkau aku
hanya setebal bulu roma

Di pangkuan Yogya, sisipkan di celah ingatan
nama tetangga, tukang becak, dan para peronda
Jangan tutup pintu pagar kecuali malam
agar pengemis-pengamen bisa mengais
remah rezeki yang terbagi dan teriris
Jangan marah trotoar menjelma pasar
ketika zaman makin sukar menerima yang benar

Di pangkuan Yogya, kusambut capung kupu-kupu
bersarang pada setiap  halaman buku
Gempa, magma, dan lava, kucatat dengan cinta
bersanding nasihat para wali dan pujangga
karena pasir batu, dan celah retak, akan menjaga
kalimah Nabi terus bergema di tanah Jawa
di pucuk asam dan angsana, juga di pintu jendela rumah kita

Di pangkuanmu: tanah seribu-jalan
ribuan orang rela mengabdi, tak ingin berebut menang
dengan anak-cucu sendiri

Yogyakarta, 18 Desember 2011

Puisi Indrian Koto yang mewakili generasi muda usia 20-an nampaknya begitu cemas mempertanyakan perkembangan Yogya yang tak teduga. Puisinya dinamis melihat realita, gelisah terus bertanya, "Mengapa kota Yogya jadi seperti ini?". Kerinduan atas masa lalunya di Kotabaru maupun di Kali Code membuat Indrian Koto merasa kembali dilahirkan.
Puisi Iman Budhi Santosa yang mewajkili generasi tua usia 60-an cenderung membangun imaji "patembayan" (kebersamaan) dalam puisinya. Ia lahir kembali dengan ribuan orang rela mengabdi, tak ingin berebut menang dengan anak-cucu sendiri.
Lalu, bagaimana komentar atau apresiasi kita terhadap karya kedua penyair tersebut, atau paling tidak kesan kita terhadap Yogyakarta sebagai kota perjuangan dalam konteks kekinian?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar