Kamis, 15 Maret 2012

Musik Campursari Ditinggal "Pergi", Siapa Peduli?

133173366058309153 
Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, dan Manthous “pergi” meninggalkan Campursari. Secara kebetulan Sang Maestro Musik Campursari meninggalkan kita pada saat Hari Musik Nasional (9 Maret, diambil dari hari kelahiran W.R.Supratman, sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya) menjadi catatan khusus untuk merefleksi keberadaan musik Campursari.

Keberadaan musik tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran sosok Manthous, yang bernama asli Anto Sugiartono. Manthous merupakan anak kedua keluarga Wiryaatmaja dari enam bersaudara. Mengawali karier musiknya secara otodidak di kampung halamannya (Sumberjo, Ngawu, Playen, Gunungkidul, D.I. Yogyakarta) sejak masih usia SD, dengan membentuk grup band “Dendang Kelana”, serta menjadi spesialis pemain cello orkes kroncong “Tunas Jaya”  dan akhirnya orkes kroncong “Trisnasari”. Pada saat usia sekitar 16 (enam belas) tahun, ia hijrah ke Jakarta. Menurut informasi dari beberapa orang terdekatnya,sebelum ke Jakarta ia sempat ke Cirebon menjadi pengiring wayang Cirebonan. Pada saat saya masih kecil, melalui layar kaca TVRI, saya pun sering melihat penampilan Manthous (waktu itu panggilannya masih Mas Antok) dalam grup kroncong Bintang Jakarta (pimpinan BJ. Budiman). Beberapa Grup Band yang pernah dimasukinya antara lain : B. Blus (anak Benyamin S.),  Flower Sound (Charles Hutagalung). Proses belajar musiknya secara otodidak ternyata dimulai dari grup ke grup, dari panggung ke panggung, dan akhirnya merambah dunia rekaman. Pengalaman bekerja di perusahaan rekaman baik di Musica Studio maupun ARCO (Aryanto Company) tidak ia sia-siakan. Beberapa lagu pop yang ia ciptakan dan pernah meramaikan industri musik di Indonesia antara lain : Jamilah (Jamal Mirdad), Surga Neraka (Hetty Koes Endang), Gethuk (Nur Afni Oktavia), Kangen (Evi Tamala). Ia mulai mencoba-coba memberi warna musik Jawa (pelog dan atau slendro) sebagai musik pentatonik agar dapat ditampilkan sebagai musik diatonik. Lagu Campursari yang ia ciptakan dan meledak di pasaran antara lain : Sakit Rindu, Rondo Kempling, Mbah Dukun. Dalam berkarya, ia senantiasa belajar dari para pendahulunya, termasuk dari Ki Dalang Narto Sabdo, yang kita kenal juga sebagai pencipta lagu-lagu Jawa. Musik Jawa pembaharuan ini mulai populer (”booming”) pada tahun 1994-an sampai tahun 2004-an (selama sekitar 10 tahun, atau sekitar 4 tahun sebelum Reformasi sampai 6 tahun setelah Reformasi).

Ada 3 (tiga) hal perubahan mendasar pada musiknya : 1. Frekunesi nada dari pentatonik gamelan (pelog dan atau slendro) diubah jadi diatonik 2. Warna musiknya jadi pentatonik dan diatoinik 3. Harmonisasi musiknya masih Jawa (pelog dan atau slendro). Ibarat makan ketela, ketela itu sajiannya sudah tidak sekedar direbus, tetapi sudah disajikan dengan margarin dan bumbu-bumbu yang mengenakkan. Perubahan pada aspek bunyi/suara pada dasarnya adalah suara kethuk diganti cuk; suara kempyang diganti cak; serta suara saron, kenong, dan gong, diganti bas elektrik. Jenis kendhang yang digunakan dalam Campursari, yakni : kendhang batangan atau ciblon. Bahkan perubahan secara revolusioner terhadap alat musiknya, bisa terwakili dalam satu alat musik saja : keyboard, yang terprogram Campursari. Struktur bentuk penciptaan gendhingnya didasarkan pada 3 (tiga) jenis : 1. Langgam Jawa 2. Gendhing Ritual (misal musik iringan Temu Manten) dan Klenengan (misal “Kinanti Subakostowo”) 3. Dangdut Jawa (misal “Balen”).
Perubahan dimaksud berarti menciptakan atau melahirkan kembali akar tradisi milik kita sendiri (musik Jawa) dengan nama baru “Campursari” menyesuaikan dinamika masyarakat pada saat itu, sehingga muncul budaya massa musik Campursari.Inilah sebenarnya hakekat pelestarian budaya.


Ada 3 (tiga) aspek berkaitan dengan upaya pelestarian dimaksud, yakni : mempertahankan budaya yang sudah ada, memperkembangkan dalam arti memperbarui/mewarnai tanpa mengubah hakekat, dan menyebarluaskan. Untuk melestarikan budaya massa musik “Campursari” perlu kita simak hasil penelitian Wadiyo, Staf Pengajar FBS Universitas Negeri Semarang, tahun 2007, yang berjudul “Campursari dalam Stratifikasi Sosial di Semarang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minat terhadap musik Campursari antara masyarakat remaja (usia 13 - 21 tahun) golongan atas dengan masyarakat remaja golongan bawah ada perbedaan. Minat golongan yang pertama dalam kategori cukup, sedangkan yang kedua dalam kategori besar. Dengan kata lain (berdasarkan simpulan dan saran penelitian), Campursari itu lebih bermakna positif bagi remaja golongan  bawah dibanding remaja golongan atas. Sehingga Campursari dapat menjadi simbol ikon masyarakat golongan bawah. Potensi banyaknya (populasi) golongan bawah yang mencintai Campursari ini dapat dijadikan acuan dalam membangun karakter budaya bangsa melalui penyempurnaan tampilan Campursari (termasuk syair lagunya) yang lebih bermanfaat dan bermartabat. Campursari dengan demikian diharapkan tidak sekedar dipandang sebagai “Campursaru” (pornokata), seperti lagu Cucakrowo, tetapi juga “Campursareh” (sabar bersama). Adanya perbedaan minat tersebut hendaknya dijadikan pemahaman pemerintah agar jenis musik (seni) apapun perlu diberi kesempatan berkembang seluas-luasnya dan “sebebas-bebasnya”

Mengingat keberadaan Campursari berangkat dari akar budaya tradisi milik kita sendiri, semua pihak –termasuk pemerintah–perlu memberi perhatian khusus terhadap musik jenis ini. Kita berharap Campursari senantiasa lestari dan eksis, tak mati ditelan jaman. Pemerintah dalam hal ini dapat mempelopori dan memfasilitasi lomba-lomba musik Campursari untuk memunculkan para kreator baru, dengan memberikan imbalan atau penghargaan bagi para pemenangnya, dan dapat memberdayakan kelompok-kelompok Campursari yang ada dengan menampilkan dan mengapresiasi mereka secara bergiliran di acara-acara dan tempat-tempat tertentu(seperti peringatan Hari Jadi, Hari Kemerdekaan, di lokasi wisata pantai maupun tempat bersejarah saat liburan maupun lebaran). Barangkali kalau bisa bersenandung, Manthous akan ber-Campursari kepada kita :

aku tak butuh patung pemadan rupa, bila Campursari-ku hilang tak bermakna
aku butuh arung lautan samudra,
hingga Suriname, jiwaku terbaca
“ing pinggiraning bengawan sore”
aku terbawa arus yang tak bisa kulawan
namaku tak lagi Manthous, tak lagi Antok, tak lagi Anto Sugiartono
namaku Campursari yang melukis mimpi di Taman Keindahan Abadi

Selamat jalan Mas Manthous, musik Campursari kautinggal “pergi”, siapa peduli?
Gunungkidul, 14 Maret 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar