Selasa, 03 April 2012

Memetakan Penyair Pembaruan Indonesia

Oleh : Margita Widiyatmaka

Dalam sejarah kepenyairan atau perpuisian Indonesia, tercatat dekade 1970-an sebagai masa yang banyak melahirkan para penyair. Penyair tersebut antara lain : Sutardji Calzoum Bachri, W.S. Rendra, Emha Ainun Najib, Ibrahim Sattah, Sitor Situmorang, Wing Kardjo, Abdul Hadi WM, Mira Sato, Eka Budianta, Tuti Heraty Nurhadi, Yudistira Ardi Nugraha, Rahadi Purwanto, Rusli Marzuki Saria, Soekoso DM, Suryanto Sastro Atmodjo, Linus Suryadi AG, Goenawan Mohammad, Adri Darmadji, Budiman S. Hartoyo, Subagio Sastrowardoyo, Syahril Latif, Sandy Tyas, Saini KM, Leon Augusta, Sutirman Eka Ardhana, R.P. Sitanggang, Damiri Mahmud, B.Y. Tand, Lazuardi Anwar, Djohan A. Nasution, serta bermunculan beberapa penyair dari berbagai daerah di Indonesia (Yogyakarta, Banjarmasin, Padang, Ujungpandang, Bandung). Tentunya masih ada banyak penyair yang potensial pada saat itu, tetapi belum sempat tercatat dalam peta Penyair Pembaruan Indonesia. Di Yogyakarta, muncul Persada Study Klub (PSK) yang pada awalnya diasuh oleh Umbu Landu Paranggi, dihidupkan lagi oleh beberapa penyair muda anggotanya dilingkungan IKIP Negeri Yogyakarta dengan menerbitkan antologi puisi "Cermin Akhir Tahun" seperti antara lain : Yoko S. Passandaran, Jabrohim, Suminto A. Sayuti. Mereka telah menjadi mozaik kepenyairan atau perpuisian Indonesia Baru pasca Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan '45. Yang menggembirakam, di awal tahun 1979 telah muncul kumpulan puisi terbaru Sutan Takdir Alisyahbana "Lagu Pemacu Ombak" berisi 10 sajak Takdir antara tahun 1933 sampai 1974. Sutan Takdir Alisyahbana merupakan satu-satunya anggota Pujangga Baru yang lahir kembali pada dekade 1970-an. Secara keseluruhan, unsur kebaruan mereka terletak pada logika dan realita puisi yang mereka bangun begitu sederhana dan mudah  dicerna, tanpa meninggalkan makna hikmah maupun filosofis. Ciri kebaruan yang paling menonjol adalah ada pada puisi mantra, dalam hal ini saya lebih suka menyebut puisi doa/religi ala mantra. Mereka lebih banyak bermain kata-kata dan mengulang-ulang bunyi kata sebagai mantra, bukan  sebagai kalimat. Beberapa penyair yang mencoba menyajikan puisi mantra tersebut antara lain : Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Hamid Jabbar. Inilah hasil pemetaan Kepenyairan/Perpuisian Pembaruan Indonesia yang telah ditulis oleh Korrie Layun Rampan dalam bukunya "Puisi Indonesia Kini, Sebuah Perkenalan" (1980). Dan kita pun senantiasa menunggu pemetaan kepenyairan setelah dekade 1970-an sampai dengan dekade 2000-an. Adakah ciri kebaruan mereka? Waktulah yang akan menjawab.

Dalam kaitannya dengan puisi mantra, Sutardji Calzoum Bachri telah menyatakan dalam kredonya, yakni membebaskan kata dari makna. Tetapi, kalau kita amati karya-karyanya justru sarat makna. Puisi doa/religi ala mantra tersebut oleh Sutardji CB bersama-sama Abdul Hamid Jabbar pernah ditampilkan pada tanggal 28 Maret 1991 di Gedung Purnabudaya (UGM) Yogyakarta. Dalam penampilan mereka, tidak semua karya mereka hanya bekutat bermain kata-kata sebagai mantra, tetapi telah mengeksplorasi kesederhanaan kata menjadi logika sarat makna filosofis. Berikut ini salah satu contoh karya Sutardji Calzoum Bachri, yang telah kita kenal sebagai Presiden Penyair Indonesia, yang berjudul "Lirik Buat Lagu Pop".

LIRIK BUAT LAGU POP

aku tak ingin bebas
karena bebas ada dalam diriku
aku tak ingin lepas
tak ingin pergi
karena ingin sudah kulepas
pergi aku ke dalam diriku

aku tak ingin mawar
tak ingin melati
aku taman
segala bunga ada dalam diriku

aku tak ingin bergegas
aku tak ingin terbang
karena sampai ada padaku
begitu aku mau
sampai aku pada yang kutuju

aku tak ingin langit
di bumi tak resah aku
langit ada dalam duriku
dari tanah asalnya aku

aku tak ingin bercinta
tak pula tertusuk rindu
karena cinta sudah dalam diriku
dan akulah muasal rindu

siapa ingin main ke taman
siapa mau menyambung sayang
siapa siap resiko rindu
coba dekap dan petiklah aku!

Sungguh dalam makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Karena hakekat "aku" tercermin dari kata "tak ingin". Sayang, judul "LIRIK BUAT LAGU POP" saya pandang kurang pas atau sreg (terlalu enteng) buat karya sebagus itu, walaupun karya tersebut sudah menjadi salah satu karya monumental Sang Presiden Penyair  Indonesia. Saya lebih sreg atau pas melihat karya tersebut dengan judul "HAKEKAT AKU DALAM TAK INGIN" misalnya. Yang jelas, hanya penyair sendiri yang tahu asbabunuzul-nya, sehingga kita tak berhak mengubah judulnya. Barangkali anda selaku pecinta, pencipta, atau apresiator puisi berpendapat senada atau lain. Silahkan berpendapat!

Alam dipeta alamat terbaca, salam sastra rakhmat sejahtera !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar